Bisik-bisik di ruang ganti wanita atau di pantry saat coffee break di kantor sering melontarkan fakta: banyak perempuan yang belum pernah merasakan orgasme. Seringkali mereka berusaha menerima ketidakmampuan itu dengan berpikir bahwa hal tersebut sebagai bentuk pelayanan terhadap suami. Ada juga perempuan yang terus mengalami kegagalan orgasme karena kurang berani menuntut hak-hak mereka dalam kehidupan seksual. Toh, kehidupan perkawinan tetap harmonis, dan telah menghasilkan anak-anak yang sehat.
Apapun alasannya, perempuan selalu didorong untuk memahami bahwa orgasme hanyalah "bonus" dari suatu kehidupan seksual. Namun, Elizabeth Lloyd, profesor dari Indiana University, mengungkapkan bahwa orgasme bukan sekadar "produk sampingan" dari suatu hubungan seksual. Dalam bukunya, The Case of the Female Orgasm: Bias in the Science of Evolution, Lloyd menganalisa 21 teori yang berkaitan dengan masalah orgasme perempuan.
Menurut salah satu teori, hubungan seksual mengharuskan adanya bonding antara pria dan wanita. Orgasme akan mengikat pasangan secara emosional, sehingga mereka lebih cenderung mengejar peran sebagai orangtua. Teori yang lain mengatakan, kontraksi yang terjadi saat orgasme akan menarik sperma ke saluran reproduksi dan membawanya ke rahim. Dengan demikian, orgasme sebenarnya berkaitan dengan biologis perempuan.
Secara evolusioner, orgasme perempuan juga dipandang penting. Sebab, perempuan juga ingin bercinta karena mereka menikmatinya. Semakin mereka menikmatinya, semakin sering hubungan seks akan dilakukan. Hasilnya, semakin besar peluang mereka untuk hamil dan mempunyai anak.
Kalaupun hubungan seks yang dilakukan tidak membuat terjadinya pembuahan, orgasme tetaplah tidak bisa dipandang sebagai "bonus". Orgasme memang tidak selalu penting, namun pencapaian inilah yang membuat seks menjadi lebih dapat dinikmati.
Sumber : kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar